MUNAKAHAT
BAB I: LATAR
BELAKANG
Dalam perkara
pernikahan banyak fenomena-fenomena yang
terjadi disekeliling kita,mulai
nikah siri sampai nikah sedarah. Akan tetapi disini
KAMI ingin mengangkat
masalah tentang nikah siri.
Secara bahasa
kata siri berarti rahasia.
Kata rahasia
(siri) berarti sedikit orang
yang mengetahui. Pernikahan
yang tidak banyak
melibatkan orang atau pernikahannya
bersifat rahasia.
·
Apa hukum
nikah siri ?
·
Apa alasan
pernikahan siri dilakukan ?
·
Apa hukum
pernikahan tanpa wali ?
·
Apakah nikah
siri di catat lembaga
pencatatan sipil ?
BAB
II :
Hukum Islam Tentang Nikah
Siri
Posted by Farid Ma'ruf pada 14 Maret 2009
Berkenaan dengan nikah
siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg,pernikahan siridianggap
perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara
maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga
berlaku bagi yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami,
maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang
bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai
sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan
mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara
[Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa
orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki
hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau
anak-anak keturunannyatidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya.
Ketentuan ini juga berlakujika isteri yang meninggal dunia.Lalu,bagaimana
pandanganIslam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri
dipidanakan?Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki
hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan
Pernikahan Siri
Pernikahan
siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan;
Pertama;
pernikahan tanpa wali.Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah
pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka
tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah
secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyakfactor yang
menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatansipil negara.
Ada
yang karenafactor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi
pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan
yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan –pertimbangan
tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang
terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena
pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan
pernikahannya.
Adapun
hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun
mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah
melarang seorang wanitamenikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkanpada
sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah
saw bersabda;
لانكاحإلابولي
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan
dalalahal-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’,
bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegasdan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيماامرأةنكحتبغيرإذنوليهافنكاحهاباطل, فنكاحهاباطل ,فنكاحهاباطل
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izinwalinya, maka pernikahannya
batil;pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yanglima kecuali Imam An
Nasaaiy. Lihat, Imam AsySyaukaniy,Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu
Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
لاتزوجالمرأةالمرأةلاتزوجنفسهافإنالزانيةهيالتيتزوجنفسها
”Seorang
wanitatidakboleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah
(seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad
Daruquthniy.Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dapatlahdisimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah
pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan
berhak mendapatkan sanksi didunia.Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk
dan kada rsanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali
dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar
sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim
boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku
pernikahan tanpa wali.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga
Pencatatan Sipil
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan
syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada
dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang
baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan
perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh
syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama,
meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain
sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci
Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi
negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan,
dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan
keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga
pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga
pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan
yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh
Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut;
(1) wali,
(2)
dua orang saksi, dan
(3) ijab qabul.
Jika
tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara
syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.Adapun berkaitan hukum
tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat
dirinci sebagai berikut.
Pertama,
pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa
dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah
bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.
Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti
(bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris,
hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Hanya
saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat
bukti syar’iy.Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat
bukti syar’iy.Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk
membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis.
Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan
alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah,
pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah
disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan
yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.
Selain
itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah
dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy.Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua,
pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan
pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang
mempidanakan orang-
orang
yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi
negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan
pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil.Tidak bisa dinyatakan
bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat
saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang.
Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum
Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib,
akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya
dokumen tertulis.
Nabi
saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat
bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya
firman Allah swt;
يَاأَيُّهَاالَّذِينَءَامَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلَىأَجَلٍمُسَمًّىفَاكْتُبُوهُوَلْيَكْتُبْبَيْنَكُمْكَاتِبٌبِالْعَدْلِوَلَايَأْبَكَاتِبٌأَنْيَكْتُبَكَمَاعَلَّمَهُاللَّهُفَلْيَكْتُبْوَلْيُمْلِلِالَّذِيعَلَيْهِالْحَقُّوَلْيَتَّقِاللَّهَرَبَّهُوَلَايَبْخَسْمِنْهُشَيْئًافَإِنْكَانَالَّذِيعَلَيْهِالْحَقُّسَفِيهًاأَوْضَعِيفًاأَوْلَايَسْتَطِيعُأَنْيُمِلَّهُوَفَلْيُمْلِلْوَلِيُّهُبِالْعَدْلِوَاسْتَشْهِدُواشَهِيدَيْنِمِنْرِجَالِكُمْفَإِنْلَمْيَكُونَارَجُلَيْنِفَرَجُلٌوَامْرَأَتَانِمِمَّنْتَرْضَوْنَمِنَالشُّهَدَاءِأَنْتَضِلَّإِحْدَاهُمَافَتُذَكِّرَإِحْدَاهُمَاالْأُخْرَىوَلَايَأْبَالشُّهَدَاءُإِذَامَادُعُواوَلَاتَسْأَمُواأَنْتَكْتُبُوهُصَغِيرًاأَوْكَبِيرًاإِلَىأَجَلِهِذَلِكُمْأَقْسَطُعِنْدَاللَّهِوَأَقْوَمُلِلشَّهَادَةِوَأَدْنَىأَلَّاتَرْتَابُواإِلَّاأَنْتَكُونَتِجَارَةًحَاضِرَةًتُدِيرُونَهَابَيْنَكُمْتُدِيرُونَهَابَيْنَكُمْفَلَيْسَعَلَيْكُمْجُنَاحٌأَلَّاتَكْتُبُوهَاوَأَشْهِدُواإِذَاتَبَايَعْتُمْوَلَايُضَارَّكَاتِبٌوَلَاشَهِيدٌوَإِنْتَفْعَلُوافَإِنَّهُفُسُوقٌبِكُمْوَاتَّقُوااللَّهَوَيُعَلِّمُكُمُاللَّهُوَاللَّهُبِكُلِّشَيْءٍعَلِيمٌ
”Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur.Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu).Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya.Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya.
Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi
saling sulit-menyulitkan.Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya
hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga,
dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi
mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara
(dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk
menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang
belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti
urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi.
Khalifah
memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan
ijtihadnya.Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam
perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa
saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia
telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi
mukhalafat.
Misalnya,
seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan
melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak
sekian meter.Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh
memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah
juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta
ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan.Ia
berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal
tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan
tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan
tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang
melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian
juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan.Khalifah boleh saja menetapkan
aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya,
aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya.Aturan
semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat.Untuk itu, negara berhak
memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga
pencatatan negara.
Pasalnya,
orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara --
padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan
mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada
khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang
menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan
sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan
orang yang ditunjuk oleh khalifah.Selain khalifah, atau orang-orang yang
ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat.Atas
dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka
kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada
rakyatnya.
Sebab,
seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat
telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi
kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka
ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk
mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para
penguasa
itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan
sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada
mereka.
Keempat,
jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini
negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada
pelakunya.Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya.
Oleh
karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib
memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima,
pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan
pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan
walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat
menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَاأَوْلِمْوَلَوْبِشَاةٍ
“Adakah
walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak
hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di
antaranya adalah ;
(1) untuk mencegah munculnya fitnah di
tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan
kesaksiannya
(3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah
seseorang sudah menikah atau belum.
Hal
semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika
perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari
masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan
pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak
memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia
harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan
sangat menyulitkan dirinya.
Atas
dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan
masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun
pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak,
dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui
sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat
nikah adalah;
Pertama,
ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan
kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang
surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa
lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah,
dengan menyodorkan bukti surat nikah.
Kedua,
surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau
hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini
terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya
kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami
isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah
bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka
dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan
sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih
memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah
beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa
tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga
pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat
dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan
mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah
masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
BAB
III :kesimpulan / Penutup
kesimpulan
Pernikahan
siri menurut agama
hukumnya tidak di bolehkan. Karna
barang siapa yang
menikah atau menikahkan
secara siri akan dikenakan
sangsi.
Definisi dan
alasan nikah siri adalah
nikah yang tanpa mendatangkan
wali.nikah ini bersifat
rahasia.
Alasan
nikah siri semata-mata
hanyalah karna nafsu.
Dalam
ajaran islam perempuan
nikah tanpa wali hukumnya
haram atau tidak di
perbolehkan.
Penutup
Semoga
makalah pai yang
berjudul “bolehkah nikah
siri ??” ini bermanfa’at bagi pembaca
umumnya dan bagi kami
khususnya.
Dengan
membaca makalah ini
kita menjadi tau apa itu nikah
siri. Dan dapat
mengambil hikmahnya.
Kritik
dan saran yang
membangun sangat kami
butuhkan demi kesempurnaan
makalah ini.
BAB IV :Biodata
penyusun
Nama
: MOH. ROMADHAON
Kelas:XII
– IPA1
NO.
abs : 21
Tempat/tanggal lahir :
Tuban,20 April 1994
Hoby :Eatand
read
Alamat : Jl. Bengawansolo, Ds. Mojoagung
Motto
: lebih baik diam
dari pada bicara tapi “GeJe”
Cita-cita :Guru , pengusaha
sukses
Nama :TILOTAMA
LUCITA MALA
Kelas :
XII – IPA1
No.
abs : 37
Tempat/tanggal lahir :
Tuban,30 januari 1994
Hoby :
Nonton TV, belajar (utak-atik buku)
Alamat : Jl. Popohan lor ,Ds. Kebonagung, kec.Rengel
Motto :
Jika tdak dpat mrubah nasib, maka ubahlah
sifat mu.
Cita-cita : jadi
orang sukses agar membahagiakan ortu
Nama :SITI MUFARROKAH
Kelas : XII – IPA1
No.
abs : 31
Tempat/tanggal lahir
: Tuban, 06 september
1993
Hoby : Berenang
Alamat : Ds. Mojoagung
Motto : Berfikirlah hari
ini, berbuatlah hari
esok
Cita-cita : Perawat
Nama : Utami
Kelas : XII – IPA1
No.
abs : 39
Tempat/tanggal lahir
: Tuban, 19
Desember 1994
Hoby :Nonton TV, membaca
Alamat : Ds.
Losari
Motto : Dimana
anda berada, jadilah manusia berguna.
Cita-cita :Guru
Nama : M. SAIPUL
HIRQAMNI
Kelas : XII – IPA1
No.
abs : 24
Tempat/tanggal lahir:
Tuban, 07 juli
1994
Hoby : Membaca
andsleep
Alamat :
Ds. Sandingrowo
Motto : Jadikan
hari kemaren sebagai pelajaran.
Cita-cita : pilot
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat dan
rahmatNya sehingga penulis
bisa menyelesaikan makalah PAI
yang berjudul “NIKAH
SIRI BOLEH NGGAK
YA ??”
Dalam penyusunan
kliping ini penulis
telah berusaha semaksimal
mungkin sesuai dengan
kemampuan penulis. Namun sebagai manusia
biasa, penulis tidak luput
dari kesalahan dan kehilafan
baik dari segi
tekhnik penulisan maupun
tata bahasa. Tetapi
walaupun demikian penulis
berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah
meskipun tersusun sangat
sederhana.
Kami menyadari
tanpa kerja sama
antara guru pembimbing
dan penulis serta
beberapa kerabat yang
memberi berbagai masukan yang
bermanfaat bagi penulis
demi tersusunnya makalah
ini. Untuk itu
penulis mengucapakan terima
kasih kepada pihak yang
tersebut diatas yang
telah bersedia meluangkan
waktunya untuk memberikan
arahan dan saran demi kelancaran
penyusunan makalah ini.
Demikian semoga
makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan para
pembaca pada umumnya.
Kami mengharapkan saran
serta kritik dari berbagai
pihak yang bersifat
membangun.
Tuban, 21 september 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….... 2
BAB I
Latar belakang………………………………………………………………………………. 3
BAB II
Hukum islam
tentang nikah siri………………………………………………….. 4
Definisi dan
alasan melakukan pernikahan
siri………………………….. 5
Hukum pernikahan
tanpa wali……………………………………………………..
6
Nikah tanpa
dicatatkan pada lembaga
sipil………………………………… 8
Bahaya terselubung
surat nikah………………………………………………….16
BAB III
Kesimpulan dan penutup…………………………………………………………….
18
BAB IV
komen
ReplyDelete